#OctoberWish

Everything is never as it seems.



Menampilkan kembali masa lalu secara detil dalam bentuk visual kini sudah bukan hal yang mustahil. Teknologi modern, khususnya teknologi komputer grafis, memudahkan hal itu. Di tangan para seniman komputer grafis, rekaan gambar masa lalu yang dikumpulkan oleh sejarawan, arkeolog, dan arsitek bisa menjadikannya hidup, menjadikan masa lalu terhampar di depan mata.

Di berbagai negara maju, perpaduan antara film, fotografi, animasi tiga dimensi, dan musik sudah mulai dikenal sekitar 1994. Namanya web museum atau web Louvre karena penemunya, Nicolas Pioch, asal Perancis. Web museum adalah bentuk awal dari museum virtual. Virtual museum tak lain adalah museum dalam bentuk on-line. Media ini bisa berdiri sendiri sebagai museum virtual, tapi bisa juga digunakan sebagai pendamping museum pada umumnya, di mana mereka bisa memamerkan koleksi di dunia maya dengan display digital.

Upaya digitalisasi museum ini sudah jadi upaya bersama antara museum, asosiasi kebudayaan, dan pemerintah di seluruh dunia. Tentu saja yang paling utama di sini adalah masalah dana dan periset karena untuk memunculkan museum virtual diperlukan teknologi modern dan berbagai SDM yang ahli di bidangnya seperti sudah tersebut di atas, antara lain dari bidang fotografi, artis di bidang animasi tiga dimensi, sejarawan, kurator, arsitek, arkeolog.

Di belahan dunia lain di mana semua warga sudah melek internet, museum virtual menjadi salah satu alternatif pendidikan. Siapapun akan dengan mudah mengakses koleksi museum tertentu dengan teks yang juga sangat lengkap. Di beberapa museum bahkan sudah menyertakan tur virtual, yaitu sebuah simulasi dari lokasi yang sebenarnya. Biasanya ditambahkan elemen multimedia lain seperti efek suara, music, narasi, dan teks. Orang bisa menjelajah sedikit ke suatu museum sebelum penasaran dan datang ke lokasi bangunan museum yang sebenarnya.

Dari web museum, museum virtual, kini arkeologi pun berkembang dengan memanfaatkan teknologi tersebut, virtual arkeologi. Virtual arkeologi adalah proses meriset gedung atau artefak yang kemudian direkonstruksi dalam program tiga dimensi. Ini adalah bentuk lain sebuah proses mempelajari gedung, arsitektur, dan artefak dalam konteks peradaban yang berbeda.

Belum lama ini, Institut Kebudayaan Italia di Jakarta mendatangkan seniman multimedia Italia, Avio Mattiozzi. Mattiozzi menayangkan film tentang virtual arkeologi dalam segala bentuknya. Dalam presentasinya Avio memperlihatkan hasil karya timnya, sejak 1987, yang bergelut di bidang pembuatan program interaksi budaya dan rekonstruksi arkeologi maya. Salah satunya adalah bagaimana letusan dan abu yang dimuntahkan Gunung Vesuvius pada 24 Agustus tahun 79 mengubur kota Pompeii. Film pendek Mattiozzi juga menampilkan kota kuno Roma dan Mesir. Lengkap dengan bangunan serta detil arsitekturnya.

“Ini kami buat selain untuk bahan riset, juga untuk pendidikan. Melihat film dalam bentuk virtual arkeologi sama seperti kita membaca buku,” katanya kepada Warta Kota. Selain pendidikan dan riset, media ini juga bisa menjadi media efektif untuk mempromosikan kawasan tua di setiap kota di negeri manapun. “Kita tinggal bekerjasama dengan sejarawan, arkeolog, dan arsitek setempat. Semua data baik berupa gambar maupun teks kita rekonstruksi seperti semula. Jadi, meski sebuah bangunan sudah tidak berbentuk atau bahkan hilang, asal masih ada data, bisa divisualkan,” lanjut pria Italia yang menetap di Selandia Baru itu.

Mattiozzi mengungkapkan, dirinya tertarik untuk mem-virtual-kan Bali. “Tapi saya terbuka untuk melihat semua kawasan di Indonesia. Kita bisa mulai bekerjsama dengan pemerintah Indonesia, atau dalam kapasitas lebih kecil, dengan Bali atau Jakarta untuk menjajaki membuat virtual arkeologi kawasan di daerah itu,” paparnya.

Produk hasil kerja Mattiozzi dan kawan-kawan yang tergabung dalam Altair 4 Multimedia ini sudah beberapa kali digunakan untuk dokumentasi RAI, TV Italia, juga National Geographic. “Tentu saja hasil karya ini bisa digunakan untuk pembuatan film. Setidaknya film dokumenter. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa untuk menjadi scenery film bertema sejarah.” (kompas.com)

0 Response for the "Virtual Arkeologi Menghidupkan Yang Sudah Mati"

Post a Comment