#OctoberWish

Everything is never as it seems.

Rapat sidang itsbat yang berkaitan dengan penentuan awal Ramadhan 1428 H pada 11 September 2007, agak sedikit berbeda. Kalau biasanya yang ikut dalam sidang itu adalah para Ormas Islam dan jajaran Departemen Agama, tahun ini tidak hanya itu. Pesertanya bertambah, dan perangkat yang digunakan untuk mengambil keputusan dalam sidang itu pun dilengkapi dengan seperangkat alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT).

Perubahan itu datang dari keinginan Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh dan Dep. Kominfo untuk bisa membantu melihat hilal dengan bantuan TIK, yang menjadi salah satu leading sektor Departemen Komunikasi dan Informatika RI. Itulah sebabnya, selain Ormas Islam dan jajaran Departemen Agama, Menkominfo dan jajarannya kali ini ikut dalam sidang itsbat. “Depkominfo tidak dalam kapasitas ikut memutuskan, tapi hanya sebagai supporting berkait dengan membantu untuk bisa melihat hilal dengan bantuan TIK. Keputusan tentang jatuhnya awal atau nanti akhir Ramadhan sepenuhnya ada di Departemen Agama,” kata Mohammad Nuh.

Ada lima titik pantauan yang dilengkapi dengan TIK, masing-masing di Makassar yang dipusatkan di Tanjung Bunga JTC; Jawa Timur di Bukit Condrodipo, Gresik; Semarang di Masjid Agung Semarang; Bandung di Observatorium Boscha, Lembang; dan NAD, di Masjid Baiturahman Banda Aceh.

Bagaimana cara kerja TIK dalam melihat hilal? Jika selama ini hilal dilihat oleh perseorangan baik melalui mata telanjang atau pun alat bantu terpong, yang kemudian dibuat pernyataan dari apa yang telah dilihat melalui mekanisme sumpah, maka dengan TIK apa yang dilihat oleh persorangan itu bisa dipancarluaskan atau dilihat secara bersama-sama oleh khalayak, melalui mekanisme alat bantu teropong digital yang kemudian bisa ditransfer melalui web dan bisa dipancarluaskan melalui televisi. Bukan hanya itu, hasil pengamatan atau detik-detik munculnya hilal juga bisa diamati dari detik ke detik sekaligus dapat direkam.

Dalam uji coba melihat hilal pada permulaan bulan Sya’ban lalu, Observatorium Boscha ITB, telah berhasil mendeteksi munculnya bulan meski keadaan saat itu relatif tertutup awan. Dari uji coba itulah sistem yang nanti akan digunakan saat melihat hilal pada 11 dan 12 September 2007.

Mohammad Nuh menjelaskan, keikutsertannya dalam melihat hilal dengan bantuan TIK berkait dengan keinginan pemerintah agar ke depan diharapkan tidak ada lagi perdebatan atau perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal, juga Idul Adha, karena dengan bantuan TIK, hilal tidak lagi menjadi sesuatu yang “eksklusif”, tapi bisa disaksikan oleh siapa saja melalui televisi dan jaringan internet.

Dikatakannya, tanpa mengurangi apa yang selama ini telah dilakukan masyarakat dalam melihat hilal, rasanya perlu dipahami bahwa sesungguhnya, muncul dan tenggelamnya bulan yang menjadi pertanda dalam penanggalan Islam, merupakan gejala atau fenomena alam (sunatullah) dan bersifat tetap. Sama dengan gejala air yang mendidih jika dipanasi dengan suhu 100 derajat Celcius. Artinya, muncul dan tenggelamnya bulan adalah persoalan teknis, yang bisa diamati.

Depkominfo memiliki visi pada terwujudnya penyelenggaraan komunikasi dan informatika yang efektif dan efisien menuju masyarakat informasi yang sejahtera dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Nuh menjelaskan, harapannya ke depan, TIK tidak hanya bisa dijadikan sebagai suatu penggerak (driver) dan penyangga (supporter) yang harus digunakan demi tumbuhnya sektor-sektor unggulan yang dimiliki bangsa ini, dan karenanya harus dinyatakan secara seimbang antara TIK sebagai suatu teknologi, dan TIK sebagai driver-supporter kegiatan ekonomi-sosial-hukum-budaya, tapi juga dapat berimplikasi pada terjaganya keutuhan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Diingatkan Nuh, keberhasilan dari melihat hilal dengan bantuan TIK, bukan pada berhasilnya melihat bulan dalam satu pengamatan, tapi berhasil melihat kondisi riil terhadap hilal, yang bisa jadi memang hilalnya tidak terlihat dalam pengamatan, dan itu meyakinkan kepada publik, kalau saat itu memang hilalnya tidak ada. “Jadi bukan melihat untuk dipaksakan ada atau di ada-adakan, tapi melihat kondisi riil. Itu pun masih sangat bergantung pada dimana tempat pengamatan dan bagaimana kondisi cuaca saat itu,” katanya.

Dikatakannya, upaya yang dilakukan melihat hilal dengan bantuan TIK bukan untuk mendemonstrasikan kecanggihan teknologi dan keilmuan, tapi lebih pada bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi dan ilmu pengatahuan itu untuk kemaslahatan masyarakat.

Sumber : Depkominfo

0 Response for the "Penentuan Awal Ramadhan"

Post a Comment